Rabu, 10 Juni 2015

KESIAPAN BUAH LOKAL MENGHADAPI BUAH EKSPOR



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia dalam  mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan merupakan salah satu hak asasi yang layak dipenuhi. Oleh karena itu, masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh masyarakat menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan di suatu negara. Di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduknya besar juga menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Salah satunya, pangan hortikultura yang sebenarnya melimpah tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Produk hortikultura yang mengalami permasalahan adalah buah-buahan.
Permasalahan ini sangat berkaitan dengan pemerintah dalam hal ketahanan nasionalnya. Dimana ketahanan nasional merupakan  kondisi dinamis yang mampu memberikan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional, seperti produksi buah lokal sehingga mampu bertahan dari ancaman pemasukkan buah impor yang semakin deras. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam hal ketahanan nasional merupakan wujud nyata dalam mencapai ketahanan buah lokal di Indonesia.
Era globalisasi dan pasar bebas berimplikasi berbagai jenis barang dan jasa dengan berbagai merek membanjiri pasar Indonesia.  Persaingan antarmerek setiap produk dari berbagai negara semakin tajam dalam merebut minat konsumen.  Bagi konsumen, pasar menyediakan berbagai produk dan merek,  dengan banyak pilihan.  konsumen bebas memilih produk dan merek yang akan dibelinya. (Poerwanto, 2003). Demikikian pula yang dikatakan Mangkunegara (2002) bahwa keputusan membeli ada pada konsumen.  Konsumen akan menggunakan berbagai kriteria dalam  membeli produk dan merek tertentu.  Konsumen akan membeli produk yang sesuai kebutuhannya, seleranya,  dan daya belinya.  Konsumen tentu akan memilih produk yang bermutu lebih baik dan harga yang lebih murah. 






BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya dan berpotensi. Salah satu sumber daya alam yang berpotensi adalah buah-buahan. Di indonesia, buah-buahan yang dihasilkan oleh petani indonesia disebut buah lokal. Buah lokal sendiri memiliki dua arti, yaitu yang pertama dikatakan buah lokal jika varietas buahnya asli dari Indonesia dan ditanam oleh petani Indonesia. Sedangkan yang kedua, apabila varietas buahnya dari negara lain tetapi ditanam oleh petani Indonesia. Jadi, buah lokal tidak bergantung pada asal varietas buahnya tetapi dimana buah tersebut ditanamnya.
Indonesia memang dan telah diakui dunia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Namun, tak lantas membuat Indonesia sebagai negara maju karena sangat kompleksnya permasalahan di berbagai aspek. Salah satunya, di pengelolaan buah lokalnya. Berikut adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia mengenai ketahanan buah lokal yang menurun serta upaya yang mampu dilakukan untuk mengembalikan keadaan buah lokal.

2.1  Perkembangan Ketahanan Buah Lokal
Potensi buah lokal di Indonesia terdiri atas tujuh spesies buah tropis, seperti pisang, jeruk, durian, nangka, langsat, lengkeng, mangga, rambutan, dan manggis. Selain itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 6000 jenis varietas buahnya. Seiring perkembangan zaman, keberadaan buah lokal semakin menurun sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam ketahanan nasional bidang hortikultura. Indonesia merupakan negara yang memiliki bentuk ketahanan nasional tersendiri yaitu Astagatra, yaitu delapan aspek yang terdiri atas Pancagatra dan Trigatra. Dalam ketahanan buah lokal, yang berpengaruh adalah Trigatra atau tiga aspek alamiah antara lain geografi, kependudukan, dan sumber daya alamnya.
Aspek trigatra yang pertama adalah aspek geografis. Aspek ini berhubungan erat dengan persentase lahan perkebunan yang mempengaruhi ketersediaan buah lokal di Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar lahan pertaniannya berada di pulau Jawa dan diikuti dengan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Menurut survei Wakil Menteri Pertanian, luas lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2011 ada sekitar 13 juta ha dengan jumlah petani sebanyak 30 juta orang. Dari luas tersebut, hanya sekitar 9,5% lahan dialokasikan untuk lahan perkebunan buah. Angka tersebut semakin berkurang seiring dengan beralih fungsinya lahan perkebunan menjadi pemukiman penduduk dan lokasi industri. Berkurangnya lahan perkebunan buah mempengaruhi tingkat produktivitas buah lokal yang semakin menurun. Penurunan ini mempengaruhi tingkat ketersediaan buah lokal di dalam negeri. Secara tidak langsung, lahan pertanian yang terus menerus berkurang merupakan ancaman bagi kelangsungan buah lokal di Indonesia.
Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem membuat produktivitas buah lokal tidak menentu. Hal ini mempengaruhi ketersediaan buah lokal yang sulit di pasaran. Maka tak jarang buah lokal disebut sebagai buah musiman. Seharusnya, di zaman yang modern ini buah musiman sudah tidak menjadi masalah yang besar bagi kelangsungan buah dalam negeri. Dalam hal ini diperlukan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), seperti pengawasan prapanen sampai pasca panen yang terdiri atas sortasi, grading, pencucian, pengecilan ukuran (TOM), dan pengemasan untuk pendistribusian.
Aspek berikutnya adalah kependudukan. Aspek ini berkaitan erat dengan sumber daya manusia yang dihasilkan Indonesia. Sebagian besar petani  buah lokal tidak memiliki bekal pengelolaan yang baik mulai dari prapanen hingga pasca panennya. Hal ini disebabkan rendahnya taraf pendidikan petani lokal dan kurangnya pembinaan dari pemerintah mengenai faktor-faktor penentu kualitas buah lokal dalam pasca panen. Menurut Ketua Umum Asosiasi Sayur dan Buah Indonesia, Hasan Johnny Widjaja bahwa pemerintah kurang menaruh perhatian lebih dalam produksi buah dalam negeri. Hal ini terlihat sangat jelas dengan tidak adanya pembekalan teknologi dari pihak terkait di kalangan petani buah lokal. Permasalahan buah lokal ini merupakan akumulasi dari ketidakpedulian pemerintah untuk masa depan buah lokal di Indonesia. Ketidakpeduliannya itu bermula dari tidak meratanya program pendidikan ke seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini membuat petani lokal yang sebagian besar berasal dari kelas menengah kebawah terbiasa menjadi petani buah yang gagap teknologi. Akibat gaptek, petani lokal menghasilkan buah lokal dengan kualitas buah yang tidak terlalu baik bahkan membuat kepercayaan konsumen lokal menurun.
Terakhir dalam aspek trigatra adalah kekayaan sumber daya alam. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki lebih dari 6000 jenis varietas buah. Selain itu, Indonesia memiliki jenis buah-buahan yang endemik atau hanya terdapat di Indonesia saja. Tidak cukup berbekal melimpahnya sumber daya alam, Indonesia harus mampu mengelola dan mempertahankan sumber daya alam produk buah-buahan lokal. Pengelolaan yang baik mampu menjadi modal dalam mempertahankan eksistensi buah lokal dari ancaman buah impor.


2.2 Ancaman Yang Terjadi Pada Buah Lokal
            Ketersediaan buah lokal di Indonesia merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia dan kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya. Buah merupakan komoditas pertanian yang memiliki banyak manfaat dan sekaligus ancaman dalam penyediaannya. Buah lokal memiliki penggolongan ancaman berdasarkan sumber ancamannya, yaitu ancaman yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Ancaman yang berasal dari dalam negeri, antara lain rendahnya pengetahuan berbasis pertanian di kalangan petani buah lokal secara umum, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana pertanian buah mulai dari pra panen hingga pascapanen, kurangnya penyuluhan produk hortikultura dari pemerintah, berkurangnya lahan pertanian buah di Indonesia, perubahan iklim yang ekstrem, beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akibat bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dan kurangnya pengawasan serta rendahnya peran pemerintah dalam melindungi produk buah lokal. Misalnya, ancaman terbesar dari dalam negeri, yaitu adanya anggapan masyarakat bahwa dengan mengonsumsi atau membeli buah impor merupakan hal yang keren atau berkelas.
Selain itu, ancaman yang berasal dari luar negeri meliputi terbukanya perdagangan pasar internasional, tingginya mutu buah yang berasal dari luar negeri, penggunaan teknologi canggih dalam pengolahan buah impor, dan ketersediaan produksi buah impor yang melimpah. Berdasarkan hasil data BPS, jumlah buah-buahan impor cukup berlimpah di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2009 menunjukkan bahwa impor buah-buahan dari China sepanjang bulan Desember 2009 mencapai US $ 42,5 juta atau naik US $ 147,4 persen dibandingkan dengan posisi bulan November 2009 senilai US $ 17,1 juta. Pada tahun 2008, nilai impor buah dari China mencapai US $ 330,9 juta.
·         Ancaman yang muncul untuk buah – buah dalam negeri bukan hanya karena impor buah yang mulai banyak tersebar dipasaran yang menggeser buah – buah yang dihasilkan oleh para petani dalam negeri. Sebenarnya, penyebab tergesernya buah yang dihasilkan oleh petani dalam negeri akibat dari rendahnya mutu buah yang dihasilkan oleh para petani indonesia. Dilihat dari segi organoleptik, misalnya rasa buah lokal tidak kalah dengan buah impor. Buah lokal mempunyai rasa yang tidak hanya manis saja, melainkan kombinasi rasa asam sehingga menimbulkan sensasi segar seperti rasa dari buah malang. Namun ancaman terbesar dari buah dalam negeri berasal dari dalam diri bangsa sendiri. Harus diakui, ada beberapa faktor pendorong terjadinya impor buah antara lain:
·         Produksi buah lokal yang masih terbatas sehingga memaksa industri makanan dan minuman Indonesia untuk mengimpor. Akibatnya, harga produk makanan dan minuman lokal mahal dan sulit bersaing dengan produk impor. Sebenarnya Indonesia memiliki banyak buah berkualitas. Sayang, jumlahnya belum bisa memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Sejauh ini, Indonesia baru sukses memproduksi nanas dalam skala industri. Pengolahan buah ini sudah terintegrasi dari hulu dan hilir.
·         Minat masyarakat kepada buah impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan buah lokal. Meskipun harga lebih tinggi, konsumen tidak ragu membeli apel impor karena melihat kualitas dan bentuk fisiknya yang jauh lebih menarik daripada apel lokal.
·         Faktor lainnya lagi, (3) ada buah-buahan yang secara geografis tidak bisa tumbuh baik di Indonesia, seperti buah pir, buah kiwi, dan apel jenis tertentu. Permintaan terhadap buah tersebut, dipenuhi dari impor.
Misalnya, pada kasus apel washington (luar negeri) dengan apel malang (dalam negeri) dari segi penampilannya sama – sama menarik dan mulus. Dilihat dari warnanya, apel wasington memiliki warna merah yang merata sedangkan apel malang berwarna hijau yang tidak merata pada permukaan apel. Perbedaan bukan hanya terletak pada warna, tetapi pada keseragaman ukuran dimana buah apel washington relatif lebih seragam dibandingkan dengan apel malang yang tidak seragam. Namun, kelebihannya apel malang memiliki daging buah yang lebih padat dibandingkan dengan apel washington yang agak kopong. Bukan hanya itu, apel washington akan cepat lecet jika terkena benturan sedangkan apel malang lebih kuat terhadap benturan karena memiliki tekstur luar yang keras.
Untuk kasus tersebut, perbaikan mutu apel dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan rekayasa genetika pada tanaman apel malang sehingga mutu apel akan membaik dan dapat dipertahankan. Namun, cara rekayasa genetika ini memakan biaya yang cukup besar dan memerlukan penelitian dalam waktu lama. Namun, penanggulangan yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengubah SOP dalam proses pascapanen, seperti sortasi dan grading.
Era globalisasi dan pasar bebas berimplikasi berbagai jenis barang dan jasa dengan berbagai merek membanjiri pasar Indonesia.  Persaingan antarmerek setiap produk dari berbagai negara semakin tajam dalam merebut minat konsumen.  Bagi konsumen, pasar menyediakan berbagai produk dan merek,  dengan banyak pilihan.  konsumen bebas memilih produk dan merek yang akan dibelinya. (Poerwanto, 2003). Demikikian pula yang dikatakan Mangkunegara (2002) bahwa keputusan membeli ada pada konsumen.  Konsumen akan menggunakan berbagai kriteria dalam  membeli produk dan merek tertentu.  Konsumen akan membeli produk yang sesuai kebutuhannya, seleranya,  dan daya belinya.  Konsumen tentu akan memilih produk yang bermutu lebih baik dan harga yang lebih murah. 
Pemasar harus berusaha untuk memahami konsumen, mengetahui apa yang dibutuhkannya, apa seleranya dan bagaimana ia mengambil keputusan.  Sehingga pemasar dapat memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.  Pemahaman yang mendalam mengenai konsumen akan memungkinkan pemasar dapat mempengaruhi keputusan konsumen, sehingga mau membeli apa yang ditawarkan oleh pemasar.  Persaingan yang ketat antar merek dan produk menjadikan konsumen memiliki posisi yang semakin kuat dalam posisi tawar-menawar (Sumarwan, 2003).
Sektor pertanian merupakan penghasil bahan makanan, sementara harga bahan makanan merupakan salah satu determinan utama inflasi.  Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian (2001),  menunjukkan  bahwa sumbangan bahan makanan dalam inflasi telah menurun tajam dari 57,47 persen pada periode tahun 1970-1979 menjadi 31,17 persen pada periode 1990-1998.  Hal ini berarti pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya telah berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan, sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada dekade 1960-an dan 1970-an (Anonymous, 2001).

2.3 Peran Pemerintah Dalam Menangani Derasnya Buah Impor
Melimpahnya buah-buahan impor yang diperdagangkan di kota-kota besar menjadikan buah-buah lokal ditanah air terpuruk dan makin sulit untuk diperoleh. Penyebab utama buah lokal tidak bisa bersaing adalah kebijakan perbuahan yang tidak memihak pada produksi buah lokal. Seperti kebijakan di bidang pertanian lainnya yang tidak berpihak pada produksi lokal, demikian pula kebijakan perbuahan Indonesia. Pemerintah tidak membuat kebijakan yang bisa memproteksi[1][6] buah lokal selama buah impor masih membanjiri pasar lokal, maka buah lokal tak akan mampu bersaing. Indonesia tidak membatasi peredaran buah impor. Buah impor bisa beredar sampai ke pedesaan, bahkan sampai ke sentra produksi dengan harga yang sangat kompetitif, buah lokal berhasil menarik minat konsumen buah sampai ke pedesaan
Buah lokal kebanyakan dipanen dari alam oleh petani sebagai kegiatan sampingan. Belum banyak petani yang benar-benar mengusahakan buah sebagai bisnis utamanya. Oleh karena itu, dikerjakan sebagai sebuah kegiatan sampingan, maka kebanyakan petani buah Indonesia tidak terdidik dalam bisnis buah. Mereka tidak mengerti Good Agriculture Practice[2] yang saat ini menjadi persyaratan untuk bisa masuk ke pasar modern. Mereka juga tidak paham tentang cara panen dan pasca panen. Akibatnya mutu buah menurun drastis pada fase pasca panen dan saat pengangkutan.

Peranan pemerintah dalam mempertahankan buah lokal masih terbilang plinpan dalam mengatasinya. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Permendag 30/2012 menyatakan bahwa import hortikultura harus melalui importir terdaftar dan tidak bisa lagi langsung ke pengecer. Demikian pula, importir terdaftar tidak bisa menjual produk impornya ke konsumen atau pengecer secara langsung. Meski penerapannya ditunda beberapa bulan, Permendag 30/2012 akan sangat berperan dalam menumbuhkan gairah bisnis buah dan sayur lokal. Permendag Nomor 30 tahun 2012 akan meningkatkan bisnis hortikultura lokal melalui dua hal, yaitu: (1) hanya produk hortikultura impor berkualitas yang akan masuk. Produk yang berkualitas memiliki harga yang relatif mahal. Dengan hilangnya produk hortikultura yang impor, maka terbukanya pasar bagi produk lokal untuk mengisinya.; (2) pasal 3 secara jelas mensyaratkan impor hanya bisa dilakukan jika produk lokal tidak bisa memenuhi konsumsi. Artinya pasar untuk produk lokal akan terjamin.
Pada periode Januari sampai Juni 2013, Pemerintah melarang impor untuk enam jenis buah lokal, empat jenis produk sayuran dan tiga jenis bunga, karena komoditas itu tidak mendapatkan secara formal Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)[3][8]. Alasan utama yang disampaikan Pemerintah adalah bahwa produk hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri masih cukup untuk memenuhi permintaan produk hortikultura yang terus berkembang. Enam jenis buah yang dilarang masuk ke Indonesia yakni durian, nanas, melon, pisang, mangga dan pepaya. Selain itu, empat jenis sayuran yang dilarang diimpor ke Indonesia adalah kentang, kubis, wortel dan cabe; dan tiga jenis bunga adalah krisan, anggrek dan helicona.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan buah tropis ditanah air perlu memerlukan perhatian dari semua pihak. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk kelompok-kelompok petani buah-buahan, diarahkan untuk menanam bibit bermutu dan seragam serta diusahakan agar terkait dengan kegiatan agroindustri. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam pengembangan kawasan agroindustri buah-buahan terpadu. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjamin dari segi mutu dan jumlah buah-buahan yang diperlukan sesuai permintaan konsumen. Untuk menjamin pengadaan bibit unggul yang bermutu/ kualitas unggul maka pemerintah perlu meningkatkan kerjasama dengan kebun-kebun bibit swasta, sehingga pemerintah dapat mengawasi pengadaan bibit yang terjamin mutunya.
Pemerintah harus melakukan pembenahan teknologi pembenihan modern dengan bioteknologi (kultur jaringan) atau rekayasa genetika berupa teknologi transfer gen untuk menghasilkan bibit unggul yang sesuai dengan tuntunan pasar dan diharapkan dengan sistem tersebut harga bibit dapat terjangkau oleh petani. Selain penggunaan bibit yang berkualitas unggul pemerintah juga harus memperkenalkan teknik usaha tani yang modern kepada petani, caranya melalui peningkatan kualitas penyuluh pertanian dalam hal agronominya, agroindustri maupun agroniaganya melalui pendidikan dan latihan. Peningkatan kualitas penyuluh pertanian lapangan (PPL) sangat penting karena berhubungan langsung dengan petani, dengan demikian pengetahuan penyuluh langsung dapat ditularkan kepada petani.
Simatupang (1995) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian diarahkan pada pengembangan agribisnis sebagai suatu system keseluruhan yang dilandasi prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan di mana konsolidasi usahatani diwujudkan melalui koordinasi vertikal, sehingga produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir.
Pendekatan komoditas yang berfokus pada self sufficiency harus mulai digeser menjadi pendekatan agribisnis yang sarat dengan penciptaan nilai tambah dan berorientasi pada keuntungan.  Pendekatan kecukupan pangan yang berorientasi pada produksi  pangan hendaknya mulai digeser pada ketahanan pangan yang berorientasi pada ketersediaan dan daya beli masyarakat.  Dengan demikian, pendekatan produksi bukanlah satu-satunya pendekatan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat (Sa’id, 1999).  Kebutuhan dan selera konsumen akan terpenuhi manakala ketersediaan produk dan daya beli masyarakat juga mampu mengatasinya.
Seperti yang dikemukakan oleh Gaspersz  (2001) dan Colman D. and T. Young,   1992,  bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang atau jasa tidak terbatas hanya pada harga produk itu, harga barang substitusi atau barang komplenter, selera, pendapatan, jumlah penduduk akan tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan a). ekspektasi konsumen;  b).  banyaknya konsumen potensial; c).  pengeluaran iklan d).  features atau atribut dan e).  faktor-faktor spesifik lain yang berkaitan dengan permintaan terhadap barang atau jasa yang dipasarkan. 
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) volume ekspor buah Januari-September 2011 mencapai 309,981 ton, naik 68,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 183,871 ton. Sementara untuk nilai ekspor juga mengalami peningkatan sebesar 60,43%, dari US$ 183,8 juta pada 2010, menjadi US$ 294,9 juta tahun ini.
Sebelumnya buah tropis Indonesia diekspor ke Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi, sekarang sudah meluas hingga ke China, Australia dan Jepang. Sementara itu jika dibandingkan bahwa dalam data
BPS menunjukan, impor buah-buahan dari China sepanjang Desember 2009 mencapai US$ 42,45 juta atau naik 147,43 persen dibandingkan dengan posisi November 2009 senilai US$ 17,15 juta. Sepanjang tahun lalu, nilai impor buah dari China mencapai US$ 330,99 juta. Ekspor buah andalan Indonesia adalah manggis, salak, mangga, semangka dan Melon.Untuk menghadapi era pasar bebas dengan masuknya buah-buahan impor, Indonesia harus mampu bersaing dengan buah-buahan buahan Impor dengan mengandalkan unggulan buah lokal spesifik. Potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat mendukung untuk pengembangan buah-buahan tropis menjadi komoditas unggulan. Varietas buah-buahan Indonesia tidak kalah dengan varietas buah buahan dari negara lain. Dalam hal ini diperlukannya strategi khusus didalam mempromosikan  exotic fruit buah Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa dalam mengatasi masalah produk buah-buahan Indonesia yang menjadi kendala yaitu: mutu standarisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman yang baik, penangangan pasca panen dan promosi dan pengembangan pasar. Sistem perdagangan bebas menuntut adanya sistem produksi yang efisien dan mutu yang baik. Tentunya dengan dukungan potensi alam dan potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat besar untuk pengembangan buah-buahan tropis Indonesia menjadi komoditas unggulan. Indonesia memiliki buah-buah lain yang potensial dikembangkan, seperti jeruk, pisang, rambutan, mangga, manggis dan nanas yang memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan dan potensi pasar yang sangat banyak dibutuhkan baik domestik maupun pasar Internasional
        BAB III
                                                                   PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak varietas buah namun dalam kenyataanya indonesia masih mengimpor buah dari luar negeri hal tersebut dikarenan karena kondisi dari buah dalam negeri belum sebaik buah impor dari keseragaman mutu baik itu kualitas, warna maupun rasa. Sebenarnya banyaknya masuk buah impor ke indonesia buka permasalah atau ancaman untuk buah dalam negeri melainya sebab dari ancaman dari para petani ataupun aspek internal seperti aspek trigatra yatu geografis, kependudukan dan sumberdaya alam.
Dari segi geografis ancaman yang ada adalah pengurangan lahan pertanian diindonesia karena alih fungsi lahan yang terjadi dan juga cuaca diindonesiapun tidak teratur. Untuk menangani hal tersebut dapat dilakukan pengawasan baik dari prapemanenan sampai tahap pemanenan dan pengolahan lebih lanjut.  Dari aspek  kependudukan petani diindonesia cukup banyak namun Sebagian besar petani  buah lokal tidak memiliki bekal pengelolaan yang baik mulai dari prapanen hingga pasca panennya. Untuk menangani hal tersebut diperlukan peran aktif dari pemerintah untuk memberikan penyuluhan tentang pertanian. Selain itu pemerintah juga mempunyai kebijakan tentang larangan buah impor kedalam negeri untuk membuat penjualan buah dalam negeri menjadi meningkat.

3.2 Saran
Dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang melarang buah impor masuk keindonesia. Petani mampu meningkatkan kualitas dari buah yang dihasilkannya selain itu mampu untuk mengolahnya lebih lanjut agar nilai jual menjadi lebih tinggi. Tentunya dengan bantuan pemerinyag dan mahasiswa terutama mahasiswa pertanian








Tidak ada komentar:

Posting Komentar