BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan
merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia dalam
mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan merupakan salah satu
hak asasi yang layak dipenuhi. Oleh karena itu, masalah pemenuhan kebutuhan
pangan bagi seluruh masyarakat menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi
pemerintahan di suatu negara. Di Indonesia sebagai negara dengan jumlah
penduduknya besar juga menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Salah
satunya, pangan hortikultura yang sebenarnya melimpah tetapi tidak mampu
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Produk hortikultura yang mengalami
permasalahan adalah buah-buahan.
Permasalahan
ini sangat berkaitan dengan pemerintah dalam hal ketahanan nasionalnya. Dimana
ketahanan nasional merupakan kondisi
dinamis yang mampu memberikan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional,
seperti produksi buah lokal sehingga mampu bertahan dari ancaman pemasukkan
buah impor yang semakin deras. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam hal
ketahanan nasional merupakan wujud nyata dalam mencapai ketahanan buah lokal di
Indonesia.
Era
globalisasi dan pasar bebas berimplikasi berbagai jenis barang dan jasa dengan
berbagai merek membanjiri pasar Indonesia. Persaingan antarmerek setiap
produk dari berbagai negara semakin tajam dalam merebut minat konsumen.
Bagi konsumen, pasar menyediakan berbagai produk dan merek, dengan banyak
pilihan. konsumen bebas memilih produk dan merek yang akan dibelinya.
(Poerwanto, 2003). Demikikian pula yang dikatakan Mangkunegara (2002) bahwa
keputusan membeli ada pada konsumen. Konsumen akan menggunakan berbagai
kriteria dalam membeli produk dan merek tertentu. Konsumen akan
membeli produk yang sesuai kebutuhannya, seleranya, dan daya
belinya. Konsumen tentu akan memilih produk yang bermutu lebih baik dan
harga yang lebih murah.
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia
merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya dan
berpotensi. Salah satu sumber daya alam yang berpotensi adalah buah-buahan. Di
indonesia, buah-buahan yang dihasilkan oleh petani indonesia disebut buah
lokal. Buah lokal sendiri memiliki dua arti, yaitu yang pertama dikatakan buah
lokal jika varietas buahnya asli dari Indonesia dan ditanam oleh petani Indonesia.
Sedangkan yang kedua, apabila varietas buahnya dari negara lain tetapi ditanam
oleh petani Indonesia. Jadi, buah lokal tidak bergantung pada asal varietas
buahnya tetapi dimana buah tersebut ditanamnya.
Indonesia
memang dan telah diakui dunia sebagai negara yang kaya akan sumber daya
alamnya. Namun, tak lantas membuat Indonesia sebagai negara maju karena sangat
kompleksnya permasalahan di berbagai aspek. Salah satunya, di pengelolaan buah
lokalnya. Berikut adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia
mengenai ketahanan buah lokal yang menurun serta upaya yang mampu dilakukan
untuk mengembalikan keadaan buah lokal.
2.1 Perkembangan Ketahanan Buah Lokal
Potensi buah lokal di Indonesia
terdiri atas tujuh spesies buah tropis, seperti pisang, jeruk, durian, nangka,
langsat, lengkeng, mangga, rambutan, dan manggis. Selain itu, Indonesia juga
memiliki lebih dari 6000 jenis varietas buahnya. Seiring perkembangan zaman,
keberadaan buah lokal semakin menurun sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam
ketahanan nasional bidang hortikultura. Indonesia merupakan negara yang
memiliki bentuk ketahanan nasional tersendiri yaitu Astagatra, yaitu delapan
aspek yang terdiri atas Pancagatra dan Trigatra. Dalam ketahanan buah lokal,
yang berpengaruh adalah Trigatra atau tiga aspek alamiah antara lain geografi,
kependudukan, dan sumber daya alamnya.
Aspek trigatra yang pertama adalah
aspek geografis. Aspek ini berhubungan erat dengan persentase lahan perkebunan
yang mempengaruhi ketersediaan buah lokal di Indonesia. Indonesia merupakan
negara agraris yang sebagian besar lahan pertaniannya berada di pulau Jawa dan
diikuti dengan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Menurut
survei Wakil Menteri Pertanian, luas lahan pertanian di Indonesia pada tahun
2011 ada sekitar 13 juta ha dengan jumlah petani sebanyak 30 juta orang. Dari
luas tersebut, hanya sekitar 9,5% lahan dialokasikan untuk lahan perkebunan
buah. Angka tersebut semakin berkurang seiring dengan beralih fungsinya lahan
perkebunan menjadi pemukiman penduduk dan lokasi industri. Berkurangnya lahan
perkebunan buah mempengaruhi tingkat produktivitas buah lokal yang semakin
menurun. Penurunan ini mempengaruhi tingkat ketersediaan buah lokal di dalam
negeri. Secara tidak langsung, lahan pertanian yang terus menerus berkurang
merupakan ancaman bagi kelangsungan buah lokal di Indonesia.
Selain itu, perubahan iklim yang
ekstrem membuat produktivitas buah lokal tidak menentu. Hal ini mempengaruhi
ketersediaan buah lokal yang sulit di pasaran. Maka tak jarang buah lokal
disebut sebagai buah musiman. Seharusnya, di zaman yang modern ini buah musiman
sudah tidak menjadi masalah yang besar bagi kelangsungan buah dalam negeri.
Dalam hal ini diperlukan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), seperti
pengawasan prapanen sampai pasca panen yang terdiri atas sortasi, grading,
pencucian, pengecilan ukuran (TOM), dan pengemasan untuk pendistribusian.
Aspek berikutnya adalah
kependudukan. Aspek ini berkaitan erat dengan sumber daya manusia yang dihasilkan
Indonesia. Sebagian besar petani buah
lokal tidak memiliki bekal pengelolaan yang baik mulai dari prapanen hingga
pasca panennya. Hal ini disebabkan rendahnya taraf pendidikan petani lokal dan
kurangnya pembinaan dari pemerintah mengenai faktor-faktor penentu kualitas
buah lokal dalam pasca panen. Menurut Ketua Umum Asosiasi Sayur dan Buah
Indonesia, Hasan Johnny Widjaja bahwa pemerintah kurang menaruh perhatian lebih
dalam produksi buah dalam negeri. Hal ini terlihat sangat jelas dengan tidak
adanya pembekalan teknologi dari pihak terkait di kalangan petani buah lokal.
Permasalahan buah lokal ini merupakan akumulasi dari ketidakpedulian pemerintah
untuk masa depan buah lokal di Indonesia. Ketidakpeduliannya itu bermula dari
tidak meratanya program pendidikan ke seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini
membuat petani lokal yang sebagian besar berasal dari kelas menengah kebawah
terbiasa menjadi petani buah yang gagap teknologi. Akibat gaptek, petani lokal menghasilkan buah lokal dengan kualitas buah
yang tidak terlalu baik bahkan membuat kepercayaan konsumen lokal menurun.
Terakhir dalam aspek trigatra adalah
kekayaan sumber daya alam. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki
lebih dari 6000 jenis varietas buah. Selain itu, Indonesia memiliki jenis buah-buahan
yang endemik atau hanya terdapat di Indonesia saja. Tidak cukup berbekal
melimpahnya sumber daya alam, Indonesia harus mampu mengelola dan
mempertahankan sumber daya alam produk buah-buahan lokal. Pengelolaan yang baik
mampu menjadi modal dalam mempertahankan eksistensi buah lokal dari ancaman
buah impor.
2.2 Ancaman Yang
Terjadi Pada Buah Lokal
Ketersediaan buah lokal di Indonesia
merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia dan kewajiban pemerintah untuk
mewujudkannya. Buah merupakan komoditas pertanian yang memiliki banyak manfaat
dan sekaligus ancaman dalam penyediaannya. Buah lokal memiliki penggolongan
ancaman berdasarkan sumber ancamannya, yaitu ancaman yang berasal dari dalam
negeri dan luar negeri. Ancaman yang berasal dari dalam negeri, antara lain
rendahnya pengetahuan berbasis pertanian di kalangan petani buah lokal secara
umum, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana pertanian buah mulai dari pra
panen hingga pascapanen, kurangnya penyuluhan produk hortikultura dari
pemerintah, berkurangnya lahan pertanian buah di Indonesia, perubahan iklim
yang ekstrem, beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akibat
bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dan kurangnya pengawasan serta
rendahnya peran pemerintah dalam melindungi produk buah lokal. Misalnya,
ancaman terbesar dari dalam negeri, yaitu adanya anggapan masyarakat bahwa
dengan mengonsumsi atau membeli buah impor merupakan hal yang keren atau
berkelas.
Selain itu, ancaman yang berasal
dari luar negeri meliputi terbukanya perdagangan pasar internasional, tingginya
mutu buah yang berasal dari luar negeri, penggunaan teknologi canggih dalam
pengolahan buah impor, dan ketersediaan produksi buah impor yang melimpah.
Berdasarkan hasil data BPS, jumlah
buah-buahan impor cukup berlimpah di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2009 menunjukkan bahwa impor
buah-buahan dari China sepanjang bulan Desember 2009 mencapai US $ 42,5 juta atau naik US $
147,4 persen dibandingkan
dengan posisi bulan November 2009 senilai US $ 17,1 juta. Pada tahun 2008, nilai impor buah dari
China mencapai US $ 330,9 juta.
·
Ancaman yang muncul untuk buah –
buah dalam negeri bukan hanya karena impor buah yang mulai banyak tersebar
dipasaran yang menggeser buah – buah yang dihasilkan oleh para petani dalam
negeri. Sebenarnya, penyebab tergesernya buah yang dihasilkan oleh petani dalam
negeri akibat dari rendahnya mutu buah yang dihasilkan oleh para petani
indonesia. Dilihat dari segi organoleptik, misalnya rasa buah lokal tidak kalah
dengan buah impor. Buah lokal mempunyai rasa yang tidak hanya manis saja,
melainkan kombinasi rasa asam sehingga menimbulkan sensasi segar seperti rasa
dari buah malang. Namun ancaman terbesar dari buah dalam negeri berasal dari
dalam diri bangsa sendiri. Harus diakui, ada beberapa faktor pendorong terjadinya
impor buah antara lain:
·
Produksi buah lokal yang masih
terbatas sehingga memaksa industri makanan dan minuman Indonesia untuk
mengimpor. Akibatnya, harga produk makanan dan minuman lokal mahal dan sulit
bersaing dengan produk impor. Sebenarnya Indonesia memiliki banyak buah
berkualitas. Sayang, jumlahnya belum bisa memenuhi kebutuhan industri makanan
dan minuman. Sejauh ini, Indonesia baru sukses memproduksi nanas dalam skala
industri. Pengolahan buah ini sudah terintegrasi dari hulu dan hilir.
·
Minat masyarakat kepada buah impor
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan buah lokal. Meskipun harga lebih tinggi,
konsumen tidak ragu membeli apel impor karena melihat kualitas dan bentuk
fisiknya yang jauh lebih menarik daripada apel lokal.
·
Faktor lainnya lagi, (3) ada
buah-buahan yang secara geografis tidak bisa tumbuh baik di Indonesia, seperti
buah pir, buah kiwi, dan apel jenis tertentu. Permintaan terhadap buah
tersebut, dipenuhi dari impor.
Misalnya, pada kasus apel washington
(luar negeri) dengan apel malang (dalam negeri) dari segi penampilannya sama –
sama menarik dan mulus. Dilihat dari warnanya, apel wasington memiliki warna
merah yang merata sedangkan apel malang berwarna hijau yang tidak merata pada
permukaan apel. Perbedaan bukan hanya terletak pada warna, tetapi pada
keseragaman ukuran dimana buah apel washington relatif lebih seragam
dibandingkan dengan apel malang yang tidak seragam. Namun, kelebihannya apel
malang memiliki daging buah yang lebih padat dibandingkan dengan apel
washington yang agak kopong. Bukan hanya itu, apel washington akan cepat lecet
jika terkena benturan sedangkan apel malang lebih kuat terhadap benturan karena
memiliki tekstur luar yang keras.
Untuk kasus tersebut, perbaikan mutu
apel dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan rekayasa genetika pada
tanaman apel malang sehingga mutu apel akan membaik dan dapat dipertahankan.
Namun, cara rekayasa genetika ini memakan biaya yang cukup besar dan memerlukan
penelitian dalam waktu lama. Namun, penanggulangan yang paling mudah dilakukan
adalah dengan mengubah SOP dalam proses pascapanen, seperti sortasi dan
grading.
Era globalisasi dan pasar bebas
berimplikasi berbagai jenis barang dan jasa dengan berbagai merek membanjiri
pasar Indonesia. Persaingan antarmerek setiap produk dari berbagai negara
semakin tajam dalam merebut minat konsumen. Bagi konsumen, pasar
menyediakan berbagai produk dan merek, dengan banyak pilihan.
konsumen bebas memilih produk dan merek yang akan dibelinya. (Poerwanto, 2003).
Demikikian pula yang dikatakan Mangkunegara (2002) bahwa keputusan membeli ada
pada konsumen. Konsumen akan menggunakan berbagai kriteria dalam
membeli produk dan merek tertentu. Konsumen akan membeli produk yang
sesuai kebutuhannya, seleranya, dan daya belinya. Konsumen tentu
akan memilih produk yang bermutu lebih baik dan harga yang lebih murah.
Pemasar harus berusaha untuk
memahami konsumen, mengetahui apa yang dibutuhkannya, apa seleranya dan
bagaimana ia mengambil keputusan. Sehingga pemasar dapat memproduksi
barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Pemahaman yang
mendalam mengenai konsumen akan memungkinkan pemasar dapat mempengaruhi
keputusan konsumen, sehingga mau membeli apa yang ditawarkan oleh
pemasar. Persaingan yang ketat antar merek dan produk menjadikan konsumen
memiliki posisi yang semakin kuat dalam posisi tawar-menawar (Sumarwan, 2003).
Sektor pertanian merupakan penghasil
bahan makanan, sementara harga bahan makanan merupakan salah satu determinan
utama inflasi. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi
Pertanian (2001), menunjukkan bahwa sumbangan bahan makanan dalam
inflasi telah menurun tajam dari 57,47 persen pada periode tahun 1970-1979
menjadi 31,17 persen pada periode 1990-1998. Hal ini berarti pembangunan
pertanian dan kebijakan pendukungnya telah berhasil meredam peningkatan harga
bahan pangan, sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti
pada dekade 1960-an dan 1970-an (Anonymous, 2001).
2.3 Peran Pemerintah
Dalam Menangani Derasnya Buah Impor
Melimpahnya buah-buahan impor yang
diperdagangkan di kota-kota besar menjadikan buah-buah lokal ditanah air
terpuruk dan makin sulit untuk diperoleh. Penyebab utama buah lokal tidak bisa
bersaing adalah kebijakan perbuahan yang tidak memihak pada produksi buah
lokal. Seperti kebijakan di bidang pertanian lainnya yang tidak berpihak pada
produksi lokal, demikian pula kebijakan perbuahan Indonesia. Pemerintah tidak
membuat kebijakan yang bisa memproteksi[1][6] buah lokal
selama buah impor masih membanjiri pasar lokal, maka buah lokal tak akan mampu
bersaing. Indonesia tidak membatasi peredaran buah impor. Buah impor bisa
beredar sampai ke pedesaan, bahkan sampai ke sentra produksi dengan harga yang
sangat kompetitif, buah lokal berhasil menarik minat konsumen buah sampai ke pedesaan
Buah lokal kebanyakan dipanen dari
alam oleh petani sebagai kegiatan sampingan. Belum banyak petani yang
benar-benar mengusahakan buah sebagai bisnis utamanya. Oleh karena itu,
dikerjakan sebagai sebuah kegiatan sampingan, maka kebanyakan petani buah
Indonesia tidak terdidik dalam bisnis buah. Mereka tidak mengerti Good
Agriculture Practice[2] yang saat ini menjadi
persyaratan untuk bisa masuk ke pasar modern. Mereka juga tidak paham tentang
cara panen dan pasca panen. Akibatnya mutu buah menurun drastis pada fase pasca
panen dan saat pengangkutan.
Peranan pemerintah dalam
mempertahankan buah lokal masih terbilang plinpan dalam mengatasinya.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 Tahun 2012
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Permendag 30/2012 menyatakan bahwa
import hortikultura harus melalui importir terdaftar dan tidak bisa lagi
langsung ke pengecer. Demikian pula, importir terdaftar tidak bisa menjual
produk impornya ke konsumen atau pengecer secara langsung. Meski penerapannya
ditunda beberapa bulan, Permendag 30/2012 akan sangat berperan dalam
menumbuhkan gairah bisnis buah dan sayur lokal. Permendag Nomor 30 tahun 2012
akan meningkatkan bisnis hortikultura lokal melalui dua hal, yaitu: (1) hanya
produk hortikultura impor berkualitas yang akan masuk. Produk yang berkualitas
memiliki harga yang relatif mahal. Dengan hilangnya produk hortikultura yang
impor, maka terbukanya pasar bagi produk lokal untuk mengisinya.; (2) pasal 3
secara jelas mensyaratkan impor hanya bisa dilakukan jika produk lokal tidak
bisa memenuhi konsumsi. Artinya pasar untuk produk lokal akan terjamin.
Pada periode Januari sampai Juni
2013, Pemerintah melarang impor untuk enam jenis buah lokal, empat jenis produk
sayuran dan tiga jenis bunga, karena komoditas itu tidak mendapatkan secara
formal Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)[3][8]. Alasan utama yang disampaikan
Pemerintah adalah bahwa produk hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri
masih cukup untuk memenuhi permintaan produk hortikultura yang terus
berkembang. Enam jenis buah yang dilarang masuk ke Indonesia yakni durian,
nanas, melon, pisang, mangga dan pepaya. Selain itu, empat jenis sayuran yang
dilarang diimpor ke Indonesia adalah kentang, kubis, wortel dan cabe; dan tiga
jenis bunga adalah krisan, anggrek dan helicona.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mengembangkan buah tropis ditanah air perlu memerlukan perhatian dari
semua pihak. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk
kelompok-kelompok petani buah-buahan, diarahkan untuk menanam bibit bermutu dan
seragam serta diusahakan agar terkait dengan kegiatan agroindustri. Kegiatan
ini dapat dilakukan dalam pengembangan kawasan agroindustri buah-buahan
terpadu. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjamin dari segi mutu dan jumlah
buah-buahan yang diperlukan sesuai permintaan konsumen. Untuk menjamin
pengadaan bibit unggul yang bermutu/ kualitas unggul maka pemerintah perlu
meningkatkan kerjasama dengan kebun-kebun bibit swasta, sehingga pemerintah
dapat mengawasi pengadaan bibit yang terjamin mutunya.
Pemerintah harus melakukan
pembenahan teknologi pembenihan modern dengan bioteknologi (kultur jaringan) atau
rekayasa genetika berupa teknologi transfer gen untuk menghasilkan bibit unggul
yang sesuai dengan tuntunan pasar dan diharapkan dengan sistem tersebut harga
bibit dapat terjangkau oleh petani. Selain penggunaan bibit yang berkualitas
unggul pemerintah juga harus memperkenalkan teknik usaha tani yang modern
kepada petani, caranya melalui peningkatan kualitas penyuluh pertanian dalam
hal agronominya, agroindustri maupun agroniaganya melalui pendidikan dan
latihan. Peningkatan kualitas penyuluh pertanian lapangan (PPL) sangat penting
karena berhubungan langsung dengan petani, dengan demikian pengetahuan penyuluh
langsung dapat ditularkan kepada petani.
Simatupang (1995) mengemukakan bahwa
untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi
pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian diarahkan pada
pengembangan agribisnis sebagai suatu system keseluruhan yang dilandasi
prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan di mana konsolidasi usahatani
diwujudkan melalui koordinasi vertikal, sehingga produk akhir dapat dijamin dan
disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir.
Pendekatan komoditas yang berfokus
pada self sufficiency harus mulai digeser menjadi pendekatan agribisnis
yang sarat dengan penciptaan nilai tambah dan berorientasi pada
keuntungan. Pendekatan kecukupan pangan yang berorientasi pada
produksi pangan hendaknya mulai digeser pada ketahanan pangan yang
berorientasi pada ketersediaan dan daya beli masyarakat. Dengan demikian,
pendekatan produksi bukanlah satu-satunya pendekatan yang mampu mencukupi
kebutuhan pangan masyarakat (Sa’id, 1999). Kebutuhan dan selera konsumen
akan terpenuhi manakala ketersediaan produk dan daya beli masyarakat juga mampu
mengatasinya.
Seperti yang dikemukakan oleh
Gaspersz (2001) dan Colman D. and T. Young, 1992, bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang atau jasa tidak
terbatas hanya pada harga produk itu, harga barang substitusi atau barang
komplenter, selera, pendapatan, jumlah penduduk akan tetapi juga
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan a). ekspektasi
konsumen; b). banyaknya konsumen potensial; c). pengeluaran
iklan d). features atau atribut dan e). faktor-faktor
spesifik lain yang berkaitan dengan permintaan terhadap barang atau jasa yang
dipasarkan.
Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) volume ekspor buah Januari-September 2011 mencapai 309,981
ton, naik 68,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai
183,871 ton. Sementara untuk nilai ekspor juga mengalami peningkatan sebesar
60,43%, dari US$ 183,8 juta pada 2010, menjadi US$ 294,9 juta tahun ini.
Sebelumnya buah tropis Indonesia diekspor ke Malaysia, Singapura, dan Arab
Saudi, sekarang sudah meluas hingga ke China, Australia dan Jepang. Sementara
itu jika dibandingkan bahwa dalam data BPS menunjukan,
impor buah-buahan dari China sepanjang Desember 2009 mencapai US$ 42,45 juta
atau naik 147,43 persen dibandingkan dengan posisi November 2009 senilai US$
17,15 juta. Sepanjang tahun lalu, nilai impor buah dari China mencapai US$
330,99 juta. Ekspor buah andalan Indonesia adalah manggis, salak, mangga,
semangka dan Melon.Untuk menghadapi era
pasar bebas dengan masuknya buah-buahan impor, Indonesia harus mampu bersaing
dengan buah-buahan buahan Impor dengan mengandalkan unggulan buah lokal
spesifik. Potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat
mendukung untuk pengembangan buah-buahan tropis menjadi komoditas unggulan.
Varietas buah-buahan Indonesia tidak kalah dengan varietas buah buahan dari
negara lain. Dalam hal ini diperlukannya strategi khusus didalam
mempromosikan exotic fruit buah Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa dalam
mengatasi masalah produk buah-buahan Indonesia yang menjadi kendala yaitu: mutu
standarisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman yang baik, penangangan
pasca panen dan promosi dan pengembangan pasar. Sistem perdagangan bebas
menuntut adanya sistem produksi yang efisien dan mutu yang baik. Tentunya
dengan dukungan potensi alam dan potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia
sangat besar untuk pengembangan buah-buahan tropis Indonesia menjadi komoditas
unggulan. Indonesia memiliki buah-buah lain yang potensial dikembangkan,
seperti jeruk, pisang, rambutan, mangga, manggis dan nanas yang memiliki
keunggulan komparatif untuk dikembangkan dan potensi pasar yang sangat banyak
dibutuhkan baik domestik maupun pasar Internasional
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa
indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak varietas buah namun dalam
kenyataanya indonesia masih mengimpor buah dari luar negeri hal tersebut
dikarenan karena kondisi dari buah dalam negeri belum sebaik buah impor dari keseragaman
mutu baik itu kualitas, warna maupun rasa. Sebenarnya banyaknya masuk buah
impor ke indonesia buka permasalah atau ancaman untuk buah dalam negeri
melainya sebab dari ancaman dari para petani ataupun aspek internal seperti
aspek trigatra yatu geografis, kependudukan dan sumberdaya alam.
Dari segi geografis ancaman yang ada
adalah pengurangan lahan pertanian diindonesia karena alih fungsi lahan yang
terjadi dan juga cuaca diindonesiapun tidak teratur. Untuk menangani hal
tersebut dapat dilakukan pengawasan baik dari prapemanenan sampai tahap
pemanenan dan pengolahan lebih lanjut.
Dari aspek kependudukan petani
diindonesia cukup banyak namun Sebagian besar petani buah lokal tidak memiliki bekal pengelolaan
yang baik mulai dari prapanen hingga pasca panennya. Untuk menangani hal
tersebut diperlukan peran aktif dari pemerintah untuk memberikan penyuluhan
tentang pertanian. Selain itu pemerintah juga mempunyai kebijakan tentang
larangan buah impor kedalam negeri untuk membuat penjualan buah dalam negeri
menjadi meningkat.
3.2 Saran
Dengan kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah tentang melarang buah impor masuk keindonesia. Petani mampu
meningkatkan kualitas dari buah yang dihasilkannya selain itu mampu untuk
mengolahnya lebih lanjut agar nilai jual menjadi lebih tinggi. Tentunya dengan
bantuan pemerinyag dan mahasiswa terutama mahasiswa pertanian